08 Maret 2009

Sekedar Berkaca


Pernah suatu kali saya bertemu teman lama saya. Entah berawal dari mana sampailah obrolan kita pada keluhan-keluhannya. Yah..apa lagi kalo bukan keluhan tentang beban hidup. Banyak sekali yang dia keluhkan. Yang pada intinya adalah beban ekonomi yang dirasa berat akhir-akhir ini.
Setelah banyak mendengar banyak dari ceritanya akhirnya saya tanya ke dia.
"Mas, sampeyan punya anak ? " tanyaku.
" Punya !" jawabya.
"Sehat?" saya tanya lagi.
"Sehat", jawabnya.
" Sekolahnya gimana? apakah sampeyan tidak bisa membayar biaya sekolahnya?
"Bisa sih.. bahkan lancar-lancar saja". Jawabnya.
"Sampeyan punya rumah ?"
"Punya." jawabnya lagi
"Di rumah gimana beras cukup tidak untuk makan?' terus buat belanja sehari-hari ? tanyaku lagi.
"Buat belanja setiap harinya cukup ." jawabnya lagi.
Lho !! masalah sampeyan itu apa? tanyaku lagi. Istri punya, anak-anak sehat, makanan ada, rumah punya, sekolah anak-anak lancar.
"Iya juga ya..dia kelihatan agak bingung. Jadi apa masalahku ya..?
"Masalah sampeyan itu ada pada sikap sampeyan menghadapi dan memperlakukan apa yang selama ini sampeyan miliki. Kasarnya bolehlah dikatakan sampeyan ini kurang bisa bersyukur terhadap apa yang sampeyan dapatkan selama ini."
"Mas, kalau mau mengeluh mah ada ribuan alasan untuk mengeluh. Tapi kalau kita mau bersyukur ada jutaan alasan buat bersyukur!" Sampai di sini saya berhenti karena takut terkesan menasehati atau menggurui padahal saya pun tidak lebih baik, tidak lebih pintar, tidak lebih bijak dari teman saya itu.
Dari pertemuan dengan teman saya itu akhirnya saya dapat mengambil kesimpulan betapa kebanyakan dari kita seringkali mengeluh,mengeluh dan mengeluh saja tanpa pernah mau bersyukur. Kita hanya bisa menuntut, meminta, merengek atau yang sejenisnya. Pernahkah kita berpikir dalam setiap doa kita apa yang kita ucapkan. Ya Tuhan saya mohon ini...ya Tuhan saya mohon itu..Pernahkah atau seberapa seringkah kita berdoa yang seperti ini misalnya " Ya Tuhan saya mohon berikanlah kepada teman saya si ....untuk di berikan...." Pernahkah kita mendoakan atasan kita di kantor supaya diberikan kemudahan dalam menjalankan semua pekerjaannya. Seberapa seringkah kita mendoakan para tetangga kita yang sedang dalam kesulitan supaya diberikan kemudahan. Atau jangan-jangan kita juga lupa untuk mendoakan Orang tua kita agar diberikan kesehatan, saudara kita kakak, adik, sepupu, ipar agar di berikan rejeki dan kesehatan. Betapa kita selama ini menjadi begitu egoisnya. Yang hanya sebatas doa saja kita begitu pelitnya. Doa itu yang gratis saja kita pelit apa lagi yang berupa uang atau barang.
Gambar ilustrasi yang saya tampilkan di atas adalah gambar sebuah pabrik yang tenggelam oleh ganasnya lumpur Lapindo sementara di belakangnya adalah rumah-rumah yang terendam lumpur. Pernahkah kita bayangkan seandainya kita mengalami seperti apa yang dialami oleh saudara-saudara kita di Sidoarjo sana. Kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah, kehilangan kehidupan sosial yang selama ini mereka miliki ?
Dan satu lagi pertanyaan "Pernahkah kita berdoa untuk saudara-saudara kita itu agar diberikan ketabahan dan kemudahan dalam menghadapi semua itu?"
Sekian dulu ya...besok disambung lagi.

06 Maret 2009

Keberuntungan Dan Kecelakaan

Di sebuah desa pelosok negeri di pinggiran hutan. Tinggalah sebuah keluarga miskin dengan satu orang anak laki-lakinya. Suatu hari sang Bapak pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan berburu untuk makan keluarga itu. Ketika pulang ternyata sang Bapak tidak pulang membawa kayu bakar atau hewan buruan seperti biasa, akan tetapi membawa pulang seekor kuda liar yang tertangkap oleh sang Bapak. Kuda yang bagus dan gagah. Maka gegerlah seluruh isi kampung. Hasil penangkapan itu menjadi bahan pembicaraan seluruh kampung. Seluruh isi kampung memberi uacapan selamat kepada keluarga miskin itu.
"Selamat pak, tidak semua orang bisa mendapatkan keberuntungan seperti anda." Begitu kira-kira yang diucapkan para tetangga yang datang.
"Terima kasih, terima kasih..! Begitulah sang bapak menanggapi dengan biasa tanpa menimbulkan kesan bangga apalagi sombong.
Beberapa hari kemudian sang anak laki-laki mencoba menaiki kuda hasil tangkapan bapaknya. Karena kudanya masih liar dan sang anakpun belum begitu mahir maka terjadilah kecelakaan. Sang anak jatuh dan kakinya terluka sehingga anak itu tidak bisa berjalan. Dan seluruh isi kampungpun kembali gempar. Seluruh isi kampung merasa iba dan kasihan melihat keadaan keluarga tersebut.
"Sabar saja pak, kecelakaan ini mungkin cobaan." Begitulah seisi kampung mencoba menghibur.
"Terima kasih, terima kasih!"Jawab sang Bapak seperti biasa saja tanpa ada kesan duka yang terlalu dalam.
Esok paginya di kampung itu kedatangan satu pasukan tentara kerajaan yang membawa berita bahwa Negara sedang perang dan saat ini membutuhkan banyak pasukan untuk dibawa maju ke medan perang. Maka dikumpulkanlah seluruh pemuda di desa itu untuk maju berperang. Karena anak sang Bapak miskin itu tidak bisa berjalan karena kakinya masih sakit maka anak itu menjadi satu-satunya pemuda yang tidak dibawa maju ke medan perang.
Sang Bapakpun bertanya-tanya. "Lantas di manakah beda antara keberuntungan dan kecelakaan?" Betapa hidup adalah rahasia.
Cerita di atas saya baca dari sebuah harian beberapa tahun yag lalu. Dari cerita di atas kita dapat renungkan betapa keberuntungan ataupun kecelakaan betapa tipis jaraknya. Keduanya ada melekat dalam hidup kita sebagai penyeimbang. Karena memang sejatinya hidup adalah dua hal. Ada siang ada malam, ada gelap ada terang, ada aksi ada reaksi.Dalam Fisika prinsip kesetimbangan adalah F = 0. Berapapun gaya yang bekerja, totalnya adalah Nol.Maka kenapa kita harus telalu bersedih dan mengeluh ketika kita "celaka"? Dan kenapa kita harus berbangga diri bahkan cenderung sombong ketika kita "Beruntung" ? Sebab "Keberuntungan dan kecelakaan" ada dan kita tak tahu mana yang datang terlebih dahulu untuk secara bergantian hadir mengisi kehidupan kita. Hidup adalah Nol.